Showing posts with label thermal engineering. Show all posts
Showing posts with label thermal engineering. Show all posts

Cara Merancang/Mendesain/menentukan jumlah modul termoelektrik (peliter) yang dibutuhkan

Pada saat merancang sebuah mesin pendingin peltier, maka salah satu tahapnya adalah menentukan berapa banyak modul peltier yang dibutuhkan. Untuk hal ini perlu dilakukan perhitungan agar tidak membuang waktu dan biaya. Contoh yang biasa ditanyakan adalah misal:

  1. Untuk mendinginkan sebuah box berukuran 20 x 40 x 50 cm, berapa modul peltier (termoelektrik) yang dibutuhkan?
  2. Untuk ruangan 2 m x 3 m, apakah bisa pakai pendingin termoelektrik? Jika bisa, berapa modul peltier yang dibutuhkan?

Sebenarnya untuk menjawab pertanyaan seperti ini tidaklah semudah itu, kenapa?

Karena informasinya tidak lengkap. Contoh untuk kasus nomor 1, kita butuh informasi bahan boxnya terbuat dari apa, tebalnya berapa? suhu di dalam box dirancang berapa?

Tanpa informasi yang lengkap maka akan sulit menentukannya dan yang bisa dilakukan hanyalah dengan metode trial and error. Metode ini dilakukan dengan cara mencoba lalu jika tidak berhasil maka dicoba lagi dengan cara berbeda, jika belum berhasil, dicoba lagi dan seterusnya. Akibatnya, cara ini butuh waktu dan biaya yang cukup besar.

Metode yang lebih baik adalah dengan cara diperhitungkan dari awal dengan informasi yang ada atau asumsi yang bisa diterapkan. Namun, metode ini membutuhkan pemahaman yang cukup setidaknya di bidang perpindahan kalor dan prinsip termoelektrik. Secara umum metode ini terdiri beberapa langkah yang dapat digambarkan dalam gambar berikut:

 


Tahapan proses perancangan sistem pendingin termoelektrik yaitu:

  1. Permasalahan atau problem yang ingin diselesaikan harus jelas batasan-batasannya.
  2. Dari informasi permasalahan yang ada, dapat dilakukan perhitungan beban pendinginannya, yaitu laju kalor yang harus dilepaskan dari objek yang ingin didinginkan.
  3. Setelah nilai beban pendinginannya didapat, selanjutnya perlu dilakukan kapasitas pendingin untuk satu modul peltier yang digunakan. Tentu saja disesuaikan dengan masalah yang akan dipecahkan.
  4. Selanjunya dapat menghitung berapa modul termoelekrtrik (peltier) yang dibutuhkan
  5. Lalu, diperlukan komponen-komponen pendukungnya: heat sink, power supply, thermal interface material, dan lainnya. Lalu semua komponen ini dikonstruksikan agar dapat bekerja untuk memecahkan masalah
  6. Setelah itu, sistem pendingin yang sudah dibuat perlu diujikan. Jika masih belum bisa sesuai dengan yang dirancang maka perlu dimodifikais kembali.
Perancangan sistem pendingin peltier membutuhkan pengetahuan elektrikal dan energi termal. catatan-teknik berkolaborasi dengan Raymtech untuk menyelenggarakan workshop desain sistem pendingin termoelektrik (peltier). Workshop ini dibuat untuk umum, khusunya para engineer, peneliti, mahasiswa, inovator, dan teknisi yang bekerja atau berminat di bidang pendingin termoelektrik. Dalam pelatihan ini, akan dibahas dari dasar pengetahuan tentang energi termal, cara membaca datasheet modul, hingga desain kalkulasi sistem pendingin termoelektrik. 


Untuk informasi pendaftaran workshop, dapat dilihat di:
https://www.instagram.com/raymtech.official?igsh=NXZwam1jNTB3ZHdo

 Untuk registrasi pelatihan:
https://bit.ly/Raymtech_TEworkshop

Untuk mempelajari tentang termoelektrik:
https://catatan-teknik.blogspot.com/p/thermoelectric_3.html

(Tri Ayodha Ajiwiguna)


Keyword: Thermoelectric, Peltier, Termoelektrik, sistem pendingin, refrigerasi

Hukum II Termodinamika

Tri Ayodha Ajiwiguna

Hukum termodinamika pertama dapat menjelaskan konsep kekekalan energi. Pada prinsipnya energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, namun bentuknya dapat dikonversi menjadi bentuk lain atau dipindahkan ke objek yang lain. Jika segelas air panas diletakkan di ruangan yang sejuk, maka lambat laun temperatur air dalam gelas akan turun hingga sama dengan temperatur ruangan. Hal ini terjadi karena energi kalor yang dimiliki air berpindah dari air ke ruangan. Akibatnya air kelilangan kalor dan ruangan menerima kalor dengan besar yang sama. Kasus ini sangat mudah dijelaskan dengan hukum termodinamika I.

Namun kasus sebaliknya tidak mungkin terjadi. Jika segelas air yang temperaturnya sama dengan ruangan maka segelas air tidak akan menjadi panas karena mendapatkan kalor dari ruangan. Jika ditinjau dari hukum kekekalan energi, kasus ini tidak ada masalah artinya seharusnya proses ini memungkinkan, tapi kenyataannya tidak. Begitu pula dengan kasus-kasus lain, pada saat gelas yang jatuh dan pecah akan mengeluarkan suara. Namun jika gelas yang pecah itu diberikan suara yang sama persis dengan suara gelas yang pecah, maka pecahan gelas tidak akan menjadi gelas utuh lagi. Hal-hal seperti inilah yang tidak dapat dijelaskan oleh hukum termodinamika pertama. Oleh karena itu dibutuhkan hukum ke dua termodinamika.

Terdapat dua pernyataan mengenai hukum termodinamika II, yaitu:

“Tidak mungkin ada alat yang dapat menerima sejumlah kalor dari sebuah reservoir dan menghasilkan kerja”

Pernyataan yang dikemukakan oleh Kelvin-Plank ini mengindikasikan bahwa tidak mungkin efisiensi sebuah mesin kalor bernilai 100% karena harus ada kalor yang tidak tergunakan menjadi kerja dan harus dibuang dari sistem.

“Tidak mungkin membuat sebuah alat yang dapat memindahkan kalor daritemperatur rendah ke temperatur tinggi secara spontan”

Pernayataan ini dikemukakan oleh Clausius yang menjelaskan bahwa untuk dapat menarik kalor dari benda yang temperatur rendah ke benda temperatur tinggi tidak mungkin dapat terjadi dengan sendirinya. Namum diperlukan kerja atau energi eksternal.

Konveksi paksa internal: Menentukan koefisien konveksi kalor

Kali ini kita akan membahas bagaimana cara menentukan koefisien konveksi kalor pada kasus konveksi paksa internal. Untuk menentukan koefisien konveksi ini, hal yang pertama harus diperhatikan adalah:

1. Apakah alirannya turbulen atau laminar?

2. Apakah masih entrance region atau sudah fully developed region

Untuk aliran laminar dan pada entrance region, maka kita bisa gunakan persamaan ini


Sedangkan untuk aliran laminar pada fully developed region, maka kita dapat merujuk ke tabel berikut:

Tabel cara menghitung koefisien konveksi paksa internal pada aliran laminar (researchgate.net)



Untuk aliran turbulen, jarak entry lengthnya sangat pendek yaitu sepuluh kali diameternya, sehingga dapat diasumsikan bahwa Bilangan Nusselt berikut dapat digunakan untuk seluruh permukan pipa.


Seperti biasa, untuk lebih jelasnya mari kita kerjakan contoh soal berikut:

Sejenis oli bersuhu 20 oC mengalir di dalam sebuah pipa berdiameter 30 cm sepanjang 200 m dengan kecepatan 2 m/s. Sifat oli diasumsikan seperti di bawah ini:



Pipa tersebut terendam di air dingin ber-es dimana pada suhu permukaan pipa adalah 0 oC. Dengan mengasumsikan bahwa hambatan panas dinding pipa dapat diabaikan, tentukan:

a. Temperatur oli saat meninggalkan pipa

b. Laju aliran kalor

Jawaban

(Tri Ayodha Ajiwiguna)

Konveksi Paksa Internal: Contoh soal LMTD

Untuk lebih jelas memahami konsep LMTD, mari kita coba kerjakan contoh soal berikut:

Air memasuki sebuah pipa tembaga dengan diameter 2.5 cm pada suhu 15 oC dengan laju aliran 0.3 kg/s. Air ini dipanasi oleh uap panas dari luar yang bertemperatur 120 oC. Jika rata-rata koefisien perpindahan panasnya adalah 800 W/m2, tentukan panjang  pipa yang dibutuhkan agar keluaran air dari pipa menjadi 90 oC. !!! (asumsikan bahwa temperatur pipa sama dengan temperatur uap)

Jawaban:



(Tri Ayodha Ajiwiguna)

Konveksi Paksa Internal: Logarithmic Mean Temperature Diffference (LMTD)

Sebelumnya kita telah membahas konveksi paksa internal dengan asumsi fluks kalor konstan, yaitu fluks aliran kalor antara permukaan pipa dan fluida dianggap konstan. Kali in kita akan membahas tentang konveksi paksa internal dengan asumsi temperatur permukaan pipa konstan. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar dibawah ini:

Dalam kasus ini temperatur permukaan pipa dia


sumsikan sama sepanjang pipa. Karena temperatur pipa berbeda dengan temperatur fluida yang mengalir maka terjadilah perpindahan kalor antara pipa dan fluida secara konveksi. Besarnya konveksi kalor ini disederhanakan dengan hukum pendinginan Newton, yaitu:


Pada kasus ini, temperatur pipa konstan sepanjang pipa namun temperatur fluida tidak konstan. Misalnya suhu pipa lebih tinggi dibandingkan suhu fluida yang masuk, maka fluida akan mengalami pemanasan sepanjang pipa. Artinya semankin jauh fluida mengalir di pipa maka temperatunya semakin tinggi mendekati temperatur pipa. Dalam persamaan di atas, ΔT adalah perbedaan temperatur antara permukaan pipa dan fluida. Akibatnya ΔT saat masuk akan berbeda dengan ΔT saat keluar pipa karena temperatur fluida berubah sepanjang pipa. Lalu, bagaimana menentukan (ΔT)avg ini? Setidaknya ada dua pendekatan untuk hal seperti ini: yaitu dengan aritmatika sederhana dan dengan menerapkan kesetimbangan energi.

Pendekatan aritmatika

Perhitungan (ΔT)avg dengan pedekatan pertama hanyalah dengan merata-ratakan perbedan tempeartur saat masuk dan keluar atau dapat dituliskan:



Dengan cara seperti ini maka temperatur fluida dianggap naik secara linear sepanjang pipa. Hal seperti ini mungkin dapat dikatakan sangat jarang terjadi. Oleh karena itu kita bisa gunakan pendekatan kedua, yaitu dengan menggunakan kesetimbangan energi, atau lebih dikenal dengang logarithmic mean temperature difference (LMTD).

logarithmic mean temperature difference (LMTD).

Dengan menggunakan prinsip kesetimbangan energi maka berlaku seperti ini:



Perbedaan antara kedua ΔT tersebut dapat digambarkan oleh grafik dibawah ini:



 

Konveksi paksa internal: Fluks kalor konstan

Ketika fluida dialirkan melalui pipa yang memiliki temperatur berbeda dengan fluida, maka terjadilah perpindahan kalor antara keduanya. Perpindahan kalor ini disebut dengan konveksi paksa internal. Karena perpindahan kalor inilah temperatur fluida saat masuk menjadi berbeda dengan temperatur fluida saat keluar pipa. Sebagai contoh: air dingin yang mengalir melalui pipa yang panas akan naik temperaturnya saat keluar dari pipa tersebut. Air ini menerima kalor dari permukaan pipa yang panas. Oleh karena itu berlaku hubungan seperti ini:

Untuk penyederhaan ada dua tipe perpinahan kalor secara konveksi paksa internal, yaitu: fluks kalor konstan dan temperatur permukaan konstan. Fluks kalor adalah besarnya kalor yang berpindah dari permukaan ke fluida untuk setiap satu satuan luas, sehingga dapat dituliskan seperti ini:

Oleh karena itu untuk hubungan antara aliran kalor dan fluidanya adalah sebagai berikut:

Untuk lebih jelasnya mari kita kerjakan contoh soal berikut:

Sebuah pipa panas yang berfungsi sebagai pemanas (water heater) dengan flux panas 1000 W/m2 teraliri air dengan debit 0.1 m3/jam. Pipa tersebut memiliki panjang 1 m dengan diameter 2 inci. Jika pada saat masuk air bertemperatur 25 oC maka berapa temperatur air saat keluar dari pemanas tersebut?



(Tri Ayodha Ajiwiguna)

 

Konveksi paksa internal: Aliran dalam pipa

Konveksi paksa internal terjadi pada aliran fluida yang mengalir di sebuah saluran seperti ducting atau pipa. Oleh karena itu pemahaman tentang aliran fluida dalam pipa perlu dibahas terlebih darhulu.

Aliran Turbulen dan Laminar

Ada dua jenis tipe aliran dalam pipa yaitu: laminar dan turbulen. Pada aliran laminar, pergerakan molekul fluida terjadi secara teratur. Sebaliknya, aliran fluida menjadi acak pada aliran turbulen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini..

Aliran laminar dan turbulen (sumber gambar: https://www.cfdsupport.com/)

Terjadinya kedua tipe aliran ini dikarenakan banyak faktor antara lain geometri pipa, viskositas fluida, kecepatan fluida, jenis fluida, dan lain-lain. Bilangan Reynold sering kali digunakan untuk menntukan apakah aliran dalam pipa menjadi turbulen atau laminar. Bilangan Reynold sendiri adalah sebuah bilangan tak berdimensi yang merupakan rasio antara gaya inersia dang gaya viskos, yaitu:

Untuk saluran yang bernampang tidak bulat (contoh: ducting), maka besarnya diameter hidrolik adalah:

Dengan A adalah luas penampang saluran dan p adalah keliling penampang pipa.

Hampir semua kondisi aliran dalam pipa berlaku bahwa bilangan Reynold kritisnya adalah 2300. Artinya jika sebuah aliran memiliki bilangag Reynold kurang dari 2300, maka aliran tersebut menjadi laminar. Sebaliknya, jika aliran fluida memiliki bilangan Reynold lebih dari 2300, maka di anggap turbulen.

Daerah masukkan (Entrance Region)

Pada saat aliran fluida memasuki pipa, maka profil kecepatannya tidak langsung terbentuk. Untuk lebih jelasnya lihat gambar di bawah ini. Ketika aliran fluida memasuki pipa, kecepatan aliran sepanjang sumbu arah jari-jari adalah sama. Maksudnya adalah kecepatan aliran di tengah pipa maupun di dekat dengan dinding pipa masih sama. Namun, seiring bergeraknya fluida di sepanjang pipa maka profil kecepatan mulai berubah. Jarak yang diperlukan fluida dari saat masuk ke pipa hingga terbentuk profil kecepatan tidak berubah dinamakan daerah masukkan (entrance region). Daerah setelah profol kecepatan tidak berubah dinamakan daerah terbangun penuh (fully developed region). Tidak hanya kecepatan, profil temperatur juga memiliki entrance region dan fully developed region.  





Aliran dalam pipa (sumber gambar: Wikipedia.org & researchgate.net)

Panjang entrance region ini secara empiris dapat ditentukan dengan rumus berikut:



Untuk lebih jelasnya mari kita bahas contoh soal berikut:

Air mengalir dalam sebuah pipa berdiameter 2 inci dengan kecepatan 5 m/s. Jika bilangan Prandtl  air adalah 6.14, massa jenis air 1000 kg/m3 dan viskositas dinamisnya 0.891 x 10-3 kg/m.s, Tentukan

  1. Bilangan Reynold
  2. Jarak yang dibutuhkan untuk menjadi fully developed region untuk kecepatan fluida
  3. Jarak yang dibutuhkan untuk menjadi fully developed region untuk temperatur
(Tri Ayodha Ajiwiguna)

Konveksi paksa eksternal

Konveksi paksa adalah perpindahaan kalor secara konveksi yang pergerakan molekul mediunnya tejadi karena gaya eksternal seperti kipas atau pompa. Konveksi paksa dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu eksternal dan internal. Untuk lebih jelasnya lihat bagan di bawah ini.

Kali ini kita akan membahas tentang konveksi paksa eksternal. Kenapa dinamakan eksternal? Karena aliran fluidanya tidak berada dalam sebuah saluran (kanal), melainkan di geometri yang terbuka. Perhatikan gambar di bawah ini:

Aliran fluida pada pelat horizontal

Pada gambar terlihat sebuah aliran udara (gas) yang melewati pelat horizontal. Saat sebelum memasuki area pelat, kecepatan udara seragam sepanjang sumbu y. Namun, begitu memasuki area pelat, maka udara yang paling bawah (menempel dengan permukaan pelat) diasumsikan diam (tidak bergerak). Hal ini disebut dengan (no slip condition). Lalu, bagian atasnya bergerak dengan kecepatan rendah. Bagian atasnya lagi bergerak lebih cepat dibandingkan dibawahnya, Begitu seterusnya hingga kecepatan udaranya sama dengan kecepatan udara saat sebelum memasuki wilayah pelat. Hal ini dikarenakan oleh sifat viskositas dari fluida. Garis batas antara kecepetan yang masih terpengearuh oleh keberadaan pelat dan tidak dinamakan boundary layer. Saat mulai masuk ke area pelat, aliran fluida membentuk lapisan-lapisan kecepatan yang teratur, jenis aliran ini dinamakan aliran laminar. Namun seiring berjalannya udara di atas pelat, maka aliran fluida mulai tidak teratur, jenis aliran ini dinamakan aliran turbulen. Untuk menentukan di mana aliran mulai berubah menjadi tidak laminar lagi, digunakanlah konsep bilangan Reynold, yaitu rasio antara gaya inersia dan gaya viskos. Untuk kasus pleat seperti ini, aliran akan mulai tidak laminar lagi jika bilangan Reynoldnya lebih dari 5 x 105.  

Mari kita kerjakan contoh kasus berikut:

Sebuah plat horizontal sepanjang 5 meter memiliki lebar 50 cm. Plat ini kemudian daliri oleh udara dengan kecepatan 2 m/s. Apakah aliran udara menjadi turbulen? Jika iya, tentukanlah jarak dari ujung pelat hingga posisi aliran udara menjadi turbulen!

Jawaban:


Karena di dapat bahwa aliran akan menjadi turbulen jika panjang pelat setidaknya 3.95 m, sedangkan panjang pelat pada kasus ini adalah 5 m, maka Ya aliran akan menjadi turbulen. Jarak dari ujung pelat hingga posisi aliran menjadi turbulen adalah 3.95 m.

Pembahasan di atas belum memperhitungkan perpindahan kalor. Untuk kasus konveksi paksa eksternal dengan geometri pelat sejajar, maka bilangan Nusseltnya dapat dihitung dengan persamaan di bawah ini:

Untuk lebih jelasnya mari kita kerjakan contoh soal berikut:

Minyak pada temperature 60 oC mengalir diatas sebuah plat sepanjang 5 m dengan lebar 1 m. Plat bertermperatur 20 oC dan minyak mengalir kecepatan 2 m/s. Tentukan laju aliran kalor dari proses ini!



Jawaban:


(Tri Ayodha Ajiwiguna)

 

Konveksi Kalor: Bilangan Nusselt

Konveksi kalor secara sederhana dapat dirumuskan dengan menggunakan hukum pendinginan Newton, yaitu:


Yang jadi permasalahan dalam konveksi adalah penentuan besarnya koefsien konveksi (h). Konveksi kalor melibatkan pergerakan fluida sehingga analisisnya menjadi sangat rumit. Setidaknya ada dua metode untuk menghitung perpindahan kalor secara konveksi, yaitu secara analitik dan empirik. Untuk metode yang pertama (analitik), perhitungannya membutuhkan perangkat komputer karena harus menyelesaiakan beberapa persamaan differensial yang cukup rumit. Sedangkan metode kedua (empiris), perhitungannya lebih sederhana namun rumus-rumus yang digunakan hanya berlaku untuk kasus-kasus tertentu saja. Yang akan dibahas kali ini adalah penyelesaian persolanan konveksi kalor secara empirik.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai konveksi, perhatikan gambar berikut ini. Anggapalah ada dua buah permukaan dengan temperatur yang berbeda yaitu T1 dan T2 yang diantaranya terdapat fluida. Jika T2 lebih tinggi dari pada T1 maka terjadilah aliran kalor ke atas (dari permukaan 2 ke permukaan 1). Apakah perpindahan kalor ini terjadi secara konveksi atau konduksi? Jawabannya adalah tergantung terjadi perpindahan molekul atau tidak. Seandainya tidak terjadi pergerakan molekul, maka perpindahan kalornya terjadi secara konduksi. Sebaliknya jika terjadi perpindahan molekul, maka terjadi konveksi kalor.

Dengan adanya pergerakan molekul, maka laju aliran kalor menjadi lebih besar dibandingkan dengan murni konduksi. Rasio antara besarnya konveksi dan konduksi dalam kasus ini dinamakan bilangan Nusselt, yaitu:


Jika nilai bilangan Nusselt adalah 1 maka perpindahan kalornya murni konduksi. Sedangkan jika lebih dari 1 artinya terjadi konveksi kalor. Penentuan bilangan Nusselt inilah yang akan dipelajari untuk menentukan berapa koefisien konveksi kalor.

(Tri Ayodha Ajiwiguna)

Mekanisme Konveksi Kalor

 Salah satu metode berpindahnya kalor adalah dengan cara konveksi, yaitu perpindahan kalor disertai dengan adanya pergerakan fluida. Pergerakan fluida ini dapat terjadi  secara alami (konveksi alami) dan secara paksa (konveksi paksa). Pada konveksi alami, pergerakan fluida diakibatkan oleh gaya apung/buoyancy. Sedangkan pada konveksi paksa, pergerakan fluida terjadi dengan adanya perangkat penggerak fluida seperti kipas atau pompa., Untuk lebih jelasnya perhatikan ilustrasi berikut:

Ilustrasi Konveksi alami

Pada gambar terlihat ada sebuah silinder yang betemperatur tinggi yang diletakkan di temperatur ruang sehingga terjadi konveksi secara alami. Karena ada perbedaan temperatur antara permukan silinder dengan udara sekitarnya maka terjadilah perpindahan kalor. Udara yang berada di dekat dengan permukaan silinder akan lebih panas dibandingkan dengan udara yang jauh dari permukaan silinder. Udara yang lebih panas akan memuai akibatnya massa jenisnya menjadi lebih ringan. Gaya apung terjadi karena perbedaan massa jenis antara udara yang lebih panas dengan yang lebih dingin. Oleh karenanya udara yang berada di dekat permukaan silinder akan begerak ke atas dengan kecepatan rendah. Tempat yang ditinggalkan oleh udara panas ini digantikan oleh udara yang lebih dingin yang kemudian menjadi panas juga karena dekat dengan permukan silinder. Proses ini terus berlangsung selama ada perbedaan temperatur.


Ilustrasi konveksi paksa (sumber gambar: https://www.cradle-cfd.com/)

Pada kasus konveksi paksa, aliran fluidanya adalah karena gaya eksternal seperti kipas atau pompa. Seperti terlihat pada gambar di atas, sebuah kipas menyebabkan aliran udara di atas permukaan yang panas. Saat udara melewati permukaan panas tersebut maka terjadi perpindahan kalor dari permukaan ke udara. Akibatnya udara yang bersentuhan atau dekat dengan permukaan tersebut menjadi lebih panas. Kemudian udara panas itu terus terdorong searah dengan aliran udara yang disebabkan oleh kipas.

Perpindahan kalor secara konveksi memerlukan perhitungan yang rumit jika ditinjau secara analitik karena terlalu banyak variable yang berkaitan dengan mekanika fluida dan termal seperti viskositas, beda temperatur, panjang karakteristik, bentuk geomteri, dan lain-lain. Oleh karena itu, pendekatan empiris, yaitu perumusan berdasarkan hasil eksperimen, terkadang dirasa lebih praktis dalam perhitungannya.  

(Tri Ayodha Ajiwiguna)

Konduksi Kalor pada geometri silinder dan bola

Sering kali analisis perpindahan kalor dilakukan untuk geometri berbentuk silinder dan bola. Maksudnya arah perpindahan kalornya adalah dari dalam keluar atau sebaliknya. Sebagai contoh: saat fluida yang panas mengalir dalam sebuah pipa di ruangan yang lebih dingin, maka terjadilah konduksi kalor dari dinding pipa bagian dalam ke dinding pipa bagian luar. Untuk kasus seperti ini, arah aliran kalornya parallel dengan jari-jari pipa. Hal ini berbeda dengan kasus yang arah perpindahan kalornya searah dengan panjang benda seperti kasus pemanasan batang logam di salah satu ujungnya. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat gambar di bawah ini:




Untuk mengetahui besarnya laju kalor secara konduksi pada geometri silinder, maka perlu diturunkan dari Hukum Fouriernya, yaitu:



Dengan cara yang sama, perhitungan laju aliran kalor secara kondukis pada geometri bola dapat diturunkan juga dengan hukum Fouriernya:



Untuk lebih memahami konsep ini, maka berikut contoh soalnya:

Lapisan insulasi dengan ketebalan 1cm yang memiliki konduktifitas termal 0.5 W/mK digunakan sebagai pengaman pipa tipis yang mengalirkan steam bertemperatur 650 oC sepanjang 1 m. Jika jari-jari pipa tersebut 1 cm dan laju aliran kalor yang keluar dari pipa tersbut sebesar 1000 W, berapakah temperatur di permukaan luar insulator?? (asumsikan suhu bagian dalam insulasi sama dengan suhu steam)



Prinsip Konduksi Kalor (Heat Conduction)

Konduksi kalor (heat conduction) adalah salah satu dari mekanisme perpindahan kalor. Perpindahan kalor secara konduksi membutuhkan medium tapi mediumnya tidak berpindah. Jadi hanya kalornya saja yang mengalir. Contoh sederhana konduksi kalor adalah seperti gambar dibawah ini:



Ilustrasi Konduksi kalor (https://commons.wikimedia.org/)

Terlihat bahwa ada sebuah benda (misal: batang logam) yang dipanaskan pada salah satu ujungnya dengan api. Akibatnya temperatur di ujung tersebur lebih tinggi dibandingkan dengan ujung lainnya. Karena ada perbedaan temperatur ini, maka kalor berpindah dari ujung yang panas ke ujung yang dingin. Saat kalor berpindah, molekul-molekul batang logam tetap di posisinya atau dengan kata lain tidak berpindah. Perpindahan kalor ini dapat dirasakan dengan tangan yang memegang ujung dingin. Walaupun ujung yang dingin (awalnya) ini tidak dipanaskan oleh api, tapi dapat dirasakan makin lama makin panas juga. Hal ini dikarenakan adanya kalor yang berpindah dari ujung yang dipanasi oleh api ke ujung yang dipegang dengan tangan.

Konduksi kalor umumnya terjadi di benda padat. Secara mikroskopis proses terjadinya konsumsi dapat dilihat di gambar di bawah ini.

Ilustrasi konduksi secara mikroskopis (sumber gambar:https://intl.siyavula.com/)

Terlihat pada gambar bahwa molekul yang dipanaskan (diberi kalor) hanya satu saja, yaitu molekul yang berada di kiri bawah (gambar a). Dengan dipanaskan maka energi kinetik molekul ini menjadi lebih besar dengan bervibrasi. Vibrasi ini molekul ini kemudian merambat the molekul di dekatnya sehingga energi kinetik mokelu disekitanya juga meningkat (gambar b). Kemudian semakin lama perambatan vibrasi ini semakin meluas. Perpindahan kalor secara konduksi tidak membuat posisi molekul berpindah tempat.

Besarnya kalor yang berpindah secara konduksi berbanding lurus dengan luas permukaan (A) dan perbedaan temperatur (ΔT), tapi berbanding terbalik dengan panjang benda (L), atau secara simbol dituliskan seperti ini:

Konduksi juga dipengaruhi oleh jenis bahan, oleh karena itu dibutuhkan suatu besaran yang menunjukkan sebarapa baik bahan dapat menghantarkan kalor secar konduksi. Besaran ini disebut dengan konduktifitas termal. Oleh karena itu besarnya kalor yang berpindah secara konduksi dapt dituliskan sebagai berikut:


Persamaan di atas berlaku jika luas permukaan sepanjang arah perpindahan kalor tidak berubah (konstan). Secaru umum perpindahan kalor secara konduksi dimodelkan dengan hukum Fourier, yaitu:

Tanda negatif di ruas kiri adalah diperlukan untuk menyesuaikan dengan arah perpindahan kalor. Hukum Fourier ini akan digunakan untuk menganalisis perpindahan kalor jika bentuk geometri benda memiliki luas permukaan yang tidak konstan sepanjang arah aliran kalornya, seperti silinder dan bola.

(Tri Ayodha Ajiwiguna)

Bagaiamana menentukan bahwa suhu absolut nol adalah -273 Celsius?


Suhu 0 Kelvin adalah suhu terendah yang mingkin dicapai dan secara teori tidak mungkin ada yang bisa lebih dingin dari pada suhu ini. Pada titik ini tidak ada energi kalor yang dimiliki oleh zat. Telah disepakati bahwa 0 Kelvin ini setara dengan -273.15 oC.

Apakah pernah ada experimen yang dapat mencapai suhu ini?

Jawabannya tidak (belum ada). Pada tahun 1994 tercatat bahwa NIST (National Institute of Standards and Technology) dapat mencapai 700 nK. Lalu pada tahu 2003, para peneliti di MIT memecahkan rekor di 450 pK.

Kalau memang belum ada eksperimen yang dapat mencapai suhu 0 K, bagaiaman para ilmuwan memiliki teori bahwa -273.15 oC adalah suhu terendah yang mungkin dicapai?

Penentuan suhu absolut nol ini diperoleh dari ekstrapolasi hasil eksperimen. Mari kita bahas pelan-pelan. Jika ada sebuah wadah kokoh tertutup berisi gas maka di dalam wadah tersebut akan memiliki tekanan tertentu. Asumsikan bahwa volume wadah teresbut tidak berubah, maka tekanan pada wadah itu akan naik jika suhunya naik, begitu juga sebaliknya tekanan akan turun jika suhunya turun. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat digambar ini:


Ilustrasi tekanan


dan suhu di dalam wadah

Dengan eksperimen, kita dapat mengambil data kedua besaran tersbut. Misalnya begini, pertama kita panaskan wadah tersebut, akibatnya tekanan dalam wadah tesebut tinggi. Dengan mengguanakan alat ukur, kita bisa ukur dan catat berapa tekanan dan berapa suhunya. Lalu, kita tunggu beberapa saat sehingga suhunya turun. Dengan suhu yang lebih rendah maka tekanannya pun juga rendah. Lagi, dengan cara yang sama kita catat berapa tekanan dan suhunya. Begitu seterusnya hingga kita bisa dapatkan beberapa pasangan data. Kalau data-data ini kita buat dalam grafik maka kurang lebih gambarnya akan seperti ini:


Ilustrasi grafik suhu dan tekanan pada wadah tertutup

Titik-titik merah didapat dari data percobaan. Dari data tesebut kita bisa buat “trendline” atau “fitting curve”, ditunjukkan oleh garis biru. Nah, kalau kita panjangkan (ekstrapolasi) garis tersbut sampai tekanan 0 kPa, maka kita bisa dapatkan suhunya adalah di sekitar -273 oC. Semakin baik alat ukur dan peralatan eksperimen maka kita bisa dapatkan hasil yang lebih akurat.

Secara teori kinetik gas, molekul gas yang berada di dalam wadah selalu bergerak dengan kecepatan tertentu. Akibtanya molekul-molekul gas ini memiliki energi kinetik. Molekul-molekul gas ini saling menumbuk satu sama lain dan juga menumbuk dinging wadah. Hal ini mengakibatkan adanya tekanan dalam wadah. Saat suhunya tinggi, maka kecepatan bergerak molekul makin cepat, energi kinetik meningkat, dan tekanan juga meningkat. Begitu pula sebaliknya, saat suhunya turun, molekul-molekul gas bergerak lebih lambat, energi kinetik menurun dan tekanan menurun. Nah, berdasarkan ekstrapoalasi, pada saat tekanannya nol, suhunya adalah sekitar -273 oC. Tekanan nol ini dapat juga diartikan energi kinetik molekul gas dalam wadah juga nol. Hal in berimplikasi bahwa molekul-molekul gas tidak bergerak. Itulah mengapa secara teori pada saat suhu berada di 0 K (-273.15 oC) dikatakan bahwa molekul pada sebuah zat akan diam.

(Tri Ayodha Ajiwiguna)

Prinsip Kerja Pendinginan Evaporatif


Oleh: Tri Ayodha Ajiwiguna

Pendinginan evaporatif merupakan fenomena yang terjadi pada saat tubuh manusia berkeringat untuk menjaga temperatur tubuh. Pendinginan dengan prinsip ini juga sudah dikembangkan untuk sistem tata udara bangunan. Pada prinsipnya pada saat terjadi perubahan fasa dari liquid (air) ke gas (uap) maka terjadi penurunan temperatur. Kalor dibutuhkan suatu zat agar dapat berubah fasa di sisi lain kalor tidak dapat berpindah jika tidak ada perbedaan temperatur. Oleh karena itu pada saat terjadi evaporasi maka temperatur di perbatasan antara liquid dan uap akan turun agar kalor terserap oleh liquid. 
 

Bagaiamana penjelasan terjadinya penurunan temperatur tersebut?



Gambar 1. Ilustrasi evaporasi pada air
 

Untuk menjawab pertanyaan ini maka perlu ditinjau secara mikroskopis bahwa fluida cair adalah terdiri dari molekul-molekul yang bergerak acak, seperti ditunjukkan gambar 1. Oleh karena itu molekul air memiliki energi kinetik yang dalam termodinamika disebut dengan energi dalam. Besarnya energi kinetik ini sebanding dengan temperatur. Khusus untuk gas ideal berlaku:


 


Intinya adalah bahwa energi kinetik molekul berbanding lurus dengan temperaturnya. Pada saat terjadi evaporasi maka terjadi perpindahan massa dari liquid ke uap yang menyebabkan massa liquid berkurang. Semakin kecil nilai massa maka semakin kecil juga energi kinetiknya. Oleh karena itu saat massa liquid terevaporasi maka energi kinetik molekul juga berkurang dan mengakibatkan turunnya temperatur. 

Keyword: Evaporative Cooling, pendinginan evaporatif, prinsip kerja