Sistem PLTS Off-grid

Oleh: Tri Ayodha Ajiwiguna

Salah satu sistem pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) adalah off-grid. Sistem ini merupakan sistem yang tidak tersambungkan dengan grid atau jaringan listrik PLN (khusus di Indonesia). Oleh karena itu, baterai sebagai perangkat penyimpan energi menjadi sangat penting di sistem ini. Hal ini dikarenakan sistem PLTS hanya memproduksi listrik pada saat siang hari (saat sinar matahari tersedia). Akibatnya, pada malam hari listrik perlu disediakan dari perangkat lain, yaitu baterai yang sudah terisi saat siang hari.

Untuk lebih jelasnya, skema dari sistem PLTS off-grid dapat di lihat pada gambar di bawah ini:


Modul PV mengkonvesikan radiasi matahari menjadi energi listrik searah (DC). Listrik ini kemudian diatur oleh solar charge controller sesuai dengan kondisi. Jika listrik berlebih, maka kelebihan listrik akan disimpan dibaterai. Sebaliknya jika produksi listrik tidak mencukupi untuk beban, maka kekurangannya disediakan oleh baterai. Karena listrik dari sistem PLTS adalah listrik serah, maka untuk memasok listrik AC, maka dibutuhkan inverter.

Pada saat keadaan produksi listrik tidak mencukupi kebutuan dan listrik yang tersimpan dalam baterai pun kosong, maka kekurangan listrik tidak bisa terhindarkan atau dalam bahasa sehari-hari disebut mati listrik.


Kinerja sistem tata udara (AC)

Sistem tata udara atau yang sering disebut dengan air conditioner (AC) adalah salah satu peralatan dalam bangunan yang mengkonsumsi energi terbesar. Oleh karena itu kinerja sistem tata udara perlu diperhatikan agar bangunan menjadi lebih efisien. Salah satu parameter yang menunjukkan seberapa baik sebuah AC adalah COP (coefficient of performance). 

COP didefinisikan sebagai perbandingan antara sesuatu yang dimanfaatkan dengan sesuatu yang diberikan. atau dapat dituliskan:



AC sendiri dapat dimanfaatkan sebagai pendingin atau pemanas. Namun, di Indonesia yang beriklim tropis, AC lebih banyak digunakan sebagai pendingin. Oleh karena itu COPnya adalah perbandingan antara kalor yang diserap oleh AC dengan listrik yang diberikan ke AC. Perlu dicatat, bahwa perhitungan COP seperti ini adalah sesuai dengan SNI untuk sistem tata udara. Dalam konteks termodinamika (buku teks), khususnya siklus refrigerasi kompresi uap, COPnya dihitung dari perbandingan antara kalor yang diserap di evaporator dengan kerja pada kompresor.

COP sebuah AC dapat dihitung dengan cara melihat nameplate atau pengukuran secara langsung. Cara yang pertama (melihat nameplate) merupakan cara paling mudah, tapi yang dihitung adalah COP desain pabrik, bukan COP sebenarnya. Oleh karena itu, bisa saja COP yang dihitung disini berbeda dengan COP sebenarnya karena banyak hal, misal AC sudah berumur sehingga kompresornya tidak berjalan dengan baik atau perawatan yang kurang maksimal. Sedangkan dengan cara kedua, pengukuran, lebih sulit diterapkan karena perlu alat ukur perhitungan.

Secara matematis, COP dapat dihitung dengan cara berikut:



Dibawah ini adalah contoh mengestimasikan COP pada sebuah AC menggunakan data-data yang ada di name plate




Berapakah nilai COP dari AC di atas?

Dari name plate tersebut diketahui bahwa:
Kapasitas pendinginan atau laju penyerapan kalor adalah 5000 btu/h. Dengan menghkonversikan ini ke satuan international, maka didapat kapasitas pendinginannya adalah 1.46 kW. Oleh karena itu, maka COPnya adalah:


(Tri Ayodha Ajiwiguna)